Penulis : Dr. H. Bulkani, M.Pd*
Pada
era tahun 1980 an, pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melakukan
pemberantasan dan pencegahan penyakit Folio, Kolera, Dipteri, dan Tetanus.
Salah satunya melalui program imunisasi ke sekolah-sekolah. Ketika itu,
secara berkala petugas-petugas dari rumah sakit dan dinas kesehatan,
mendatangi sekolah-sekolah untuk melaksanakan imunisasi. Tentu saja kala
itu kesadaran masyarakat untuk mengimunisasi anak-anaknya tidak seperti
sekarang, sehingga petugas kesehatan harus bekerjasama dengan pihak sekolah
melaksanakan imunisasi dengan cara mendatangi sekolah-sekolah.
Saya
dan teman-teman sudah sangat hafal, bahwa jika ada orang-orang berseragam
putih-putih dan membawa tas tenteng hitam, itu pertanda akan ada imunisasi, dan
itu juga berarti akan banyak tangisan teman-teman yang akan kami dengar.
Menangis ? Ya, karena kala itu teknik dan peralatan menyuntiknya tidak sebaik
dan selembut sekarang. Jarumnya besar, dan sterilisasinya dibakar, sehingga
sakitnya minta ampun ketika disuntikkan oleh petugas. Tapi sakit itupun tentu
harus dirasakan perihnya, kadangkala sambil dipegang oleh paling tidak dua
orang guru, sehingga meronta sekeras apapun tidak akan berguna. Satu-satunya
cara menghindar dari sakitnya jarum suntik itu adalah melarikan diri dari dalam
kelas ketika melihat banyak petugas berbaju putih dan menenteng tas hitam
datang ke sekolah.
Proses
imunisasi yang sakit itu ternyata bisa membekas pada benak setiap orang, bahkan
hingga dewasa. Hal ini menyebabkan semacam ketakutan atau fobia terhadap jarum
suntik. Kita bisa lihat saat ini, masih banyak orang-orang tertentu yang merasa
gelisah atau ketakutan luarbiasa, ketika dihadapkan pada jarum suntik. Bahkan
saking takutnya, kadangkala seseorang lebih memilih melakukan perbuatan berat
yang lain sebagai kompensasi, asal jangan disuntik.
Ada
seorang teman yang mengatakan bahwa, dia lebih berani disuruh berperang dengan
risiko tertembus peluru tajam, daripada berhadapan dengan jarum suntik. Mungkin
karena saat berperang, kita masih punya peluang untuk menghindar, dan diberi
kesempatan untuk lari atau bersembunyi. Akan tetapi pada saat berhadapan dengan
jarum suntik, kita seolah-olah harus pasrah menerima nasib. Pada beberapa orang
tertentu, mati karena berperang atau berjuang, mungkin lebih terasa terhormat
daripada ketakutan dan pasrah ketika berhadapan dengan jarum suntik.
Meskipun
demikian, ketakutan terhadap jarum suntik ternyata dapat berimplikasi cukup
jauh. Sebagai contoh, pada saat akan berangkat umroh, ada teman satu rombongan
dengan saya yang takut disuntik. Padahal, pemerintah Arab Saudi, mewajibkan
setiap jamaah umroh dari negara manapun, harus divaksinasi terlebih dahulu,
khususnya vaksinasi Meningitis. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya pencegahan
penyebaran penyakit Meningitis yang sangat membahayakan. Sebagaimana kita
ketahui, umroh dan haji melibatkan jutaan masyarakat dari seluruh dunia,
termasuk jamaah umroh dan haji dari negara-negara Afrika bagian selatan yang
merupakan daerah endemik Meningitis sehingga sering disebut sebagai daerah
Sabuk Meningitis. Kewajiban vaksinasi tersebut menyebabkan seluruh jamaah umroh
harus membawa surat vaksinasi dari Kantor Pelayanan Kesehatan Pelabuhan, yang
nanti harus ditunjukkan pada petugas imigrasi sebagai bukti telah divaksinasi.
Teman
saya tadi, sakit takutnya dengan jarum suntik, sampai mencoba untuk mengelabui
petugas kesehatan pelabuhan, dengan cara menyuruh orang lain untuk divaksin,
tetapi nantinya berkas dan surat keterangan yang dikeluarkan oleh petugas kesehatan,
atas nama teman saya tadi. Istilah kerennya semacam joki suntik, yang artinya
antara orang yang mengikuti proses dengan yang menerima manfaatnya berbeda. Teman
saya tadi tidak sadar bahwa, di jaman digital seperti sekarang, orang dengan
mudah bisa melakukan croscek data dan wajah
antar dokumen, termasuk dokumen-dokumen keimigrasian. Untungnya, petugas
kesehatan pelabuhan cukup jeli, atau memang sudah berpengalaman menangani
hal-hal seperti ini, sehingga modusnya dapat digagalkan.
Saya
hanya membayangkan, jika seandainya teman saya tadi lolos dari upaya
menghindari jarum suntik dan mengantongi surat vaksinasi dari kantor kesehatan
pelabuhan, akan tetapi bermasalah pada saat pengecekan imigrasi, baik saat
keluar dari Indonesia maupun pada saat masuk ke Arab Saudi, maka betapa
repotnya kita semua mengurusi hal itu. Yang bersangkutan dapat dituduh telah
memalsukan dokumen, dan itu merupakan perbuatan pidana. Sebagai bagian dari
grup, tentu saja kita harus ikut bertanggung jawab jika ada masalah yang menimpa
anggota satu grup.
Dari
kisah di atas, ada dua hal yang ingin saya sampaikan.
Pertama, ternyata pengalaman pahit yang kita alami, akan sangat
membekas dan terpatri sebagai bagian yang menakutkan dalam hidup kita,
terutama jika hal itu merupakan tindakan kekerasan, sekalipun kekerasan itu
bertujuan baik. Jarum suntik yang pada masa lalu dijadikan sebagai alat untuk
mencegah wabah penyakit, akan tetapi penggunaannya menimbulkan trauma, akan
menyebabkan ketakutan mendalam terhadap jarum suntik. Pengalaman-pengalaman
traumatik dalam hidup kita, akan turut membentuk kepribadian kita di masa
selanjutnya. Jika kita mampu mengelola dan mengarahkan pengalaman traumatik itu
ke arah yang positif, maka kita akan menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari
hanya sekedar menyalahkan masa lalu.
Kedua, dalam interaksi sosial yang intensif seperti sekarang
ini, apa yang kita lakukan, sekalipun dengan proses, tujuan, dan tanggungjawab
kita sendiri sebagai pribadi, akan selalu berimbas pada hak dan kepentingan
orang lain. Saat kita mencoba memalsukan dokumen keimigrasian sehingga
berpotensi menimbulkan masalah pribadi, tetap akan menimbulkan implikasi bagi
orang lain dalam satu grup. Saat kita mencoba melanggar aturan lalu lintas
misalnya, sekalipun itu adalah perbuatan pribadi, tetapi hal itu akan
membahayakan nyawa orang lain. Untuk itulah dibutuhkan kebijaksanaan kita
sebelum bertindak. Disitulah guna akal budi yang telah diberikan Tuhan
pada kita, untuk menimbang rasa, apakah perbuatan yang kita lakukan akan berimplikasi
pada hak-hak orang lain. Itulah yang membedakan kita dengan hewan.
(Penulis
adalah Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Palangka Raya).