Penulis : Dr. H. Bulkani, M.Pd*
Sejak sekitar setahun yang lalu (2014), ada yang beda di Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, khususnya sehabis shalat Ashar, yakni adanya kegiatan kultum yang dilakukan secara bergiliran oleh seluruh dosen dan karyawan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Dari Rektor hingga staf tata usaha, semuanya secara periodik mendapat giiran untuk memberikan informasi sebagai pencerahan bagi yang lain.
Para pendengarnya tentu saja semua dosen dan karyawan yang ikut melaksanakan shalat Ashar berjamaah setiap hari, termasuk mahasiswa. Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melatih dosen dan karyawan agar terbiasa berbicara di mimbar masjid, menjadi seorang penceramah, sesederhana apapun konsep dan materi yang disampaikan. Hal ini sesuai dengan sabda rasulullah Muhammad SAW, “ sampaikan olehmu walaupun hanya satu ayat”.
Menariknya, ternyata semua orang, apapun jabatan, pangkat, atau latar belakang pendidikannya, bisa menyampaikan kultum dengan baik, tentu dengan berbagai tema, judul, atau bahkan gaya bahasa yang berbeda-beda. Ada yang menyampaikan kultum bertajuk TIDUR, BANTAL, BERSIN, dan sebagainya. Tentu saja tema dan judul itu disesuaikan dengan bidang kajian masing-masing dan dikaitkan pula dengan pandangan Islam. Misalnya kajian tentang BERSIN ternyata dapat dikupas secara menarik oleh teman-teman dari Fakultas Ilmu Kesehatan.
Demikian pula halnya dengan kultum bertajuk TIDUR, ternyata cada kesamaan pandangan antara Islam dan ilmu kesehatan tentang teknik dan cara tidur yang baik. Dengan demikian, upaya Universitas Muhammadiyah Palangkaraya untuk membuat giliran kultum bagi semua dosen dan karyawan, harus dipandang pula sebagai upaya untuk mengaitkan antara ilmu agama dengan masalah-masalah soaial kemasyarakatan yang umum terjadi di masyarakat.
Menariknya
lagi, karena masing-masing dosen dan karyawan menyampaikan kultum berdasarkan
latar belakang atau bidang keahliannya, sering kali waktunya
menjadi molor. Sehingga kultum tidak lagi dapat dimaknai sebagai “kuliah
tujuh menit” sebagaimana umumnya yang difahami masyarakat, akan tetapi kultum
telah berubah menjadi “kuliah tujuh belas menit”, kuliah duapuluh tujuh menit”,
atau yang paling lama adalah “kuliah terserah antum” yang berarti waktunya
terserah anda. Mungkin para dosen sudah mulai cukup familiar dengan mimbar
masjid, sehingga memberi kultum sudah seperti memberi kuliah di kelas.
Terlepas
dari itu semua, satu hal yang dapat saya simpulkan adalah bahwa, semua kita,
ternyata bisa menjadi Da’i. Dari kegiatan seperti itu terbukti bahwa, menjadi
Da’i bukan hanya monopoli orang-orang yang berlatar belakang pendidikan agama
Islam, tetapi juga mereka yang berlatar belakang pendidikan umum non agama.
Persepsi
selama ini bahwa saat seseorang berceramah atau memberi kultum harus
menyisipkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan bacaan yang fasih, ternyata tidak
sepenuhnya benar. Sekalipun keterampilan membaca ayat Al-Qur’an secara fasih
itu memang penting, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah kemampuan kita memaknai
ayat-ayat Tuhan sehingga mampu menjawab masalah dan tantangan kehidupan yang
kita alami. Bukankah selama ini, salah satu kelemahan kita dalam beragama
adalah kurangnya kemampuan menafsirkan ayat-ayat Tuhan secara kontekstual,
karena kita selalu terjebak pada tafsiran yang tekstual.
Maka,
pada dasarnya kita semua adalah Da’i, yakni para penyampai kebenaran, para
pendakwah yang mengajak kepada jalan Tuhan, bukan hanya di atas mimbar masjid
saat menyampaikan kultum, tetapi bahkan di depan kelas pada saat kita membagi
ilmu dan memberikan contoh dan keteladanan yang baik kepada mahasiswa. Mari
kita niatkan, semua aktivitas kita sehari-hari, sebagai bagian dari upaya kita
menyampaikan kebenaran, sehingga menjadi ibadah sebagai wujud pengabdian kita
kepada Tuhan.
(Penulis
adalah Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Palangka Raya).