Penulis
: Dr. H. Bulkani, M.Pd*
Kalimat di atas adalah sebuah peribahasa, yang digunakan untuk menggambarkan
cara kita menyelesaikan suatu masalah. Kadang dalam menyelesaikan masalah, kita
terjebak pada penyelesaian yang tidak substansial. Seringkali masalah yang kita
hadapi, diselesaikan di tingkat permukaannya, bukan pada akar masalahnya.
Ketika kita akan menangkap dan membunuh seekor tikus yang bersembunyi dan
memakan padi di lumbung, maka lumbungnya dibakar.
Banyak
masalah yang dihadapi oleh bangsa ini diselesaikan dengan cara itu. Ambil
contoh penyelesaian masalah yang dihadapi oleh PSSI (2015). Kita akui bahwa
prestasi sepakbola kita belum bisa terdongkrak, bahkan hanya di tingkat ASEAN
sekalipun. Akar masalahnya diduga pada manajemen PSSI yang kurang transparan
dan berimbas pada sistem dan pelaksanaan kompetisi, sehingga penjaringan bibit
bibit baru pemain melalui liga dan klub juga terhambat. Memang tampak sulit
untuk mencari 11 orang Indonesia terbaik dari sekitar 250 juta penduduk.
Mestinya dengan banyaknya jumlah penduduk Indonesia, tidaklah sulit mencari 11
pemain sepakbola tersebut, jika sistemnyan dikelola dengan baik. Itulah salah
satu alasan pemerintahan di bawah presiden Joko Widodo, melalui menteri Pemuda
dan Olahraga, membekukan kepengurusan PSSI pada Mei 2015.
Oleh
banyak fihak, pembekuan ini diterjemahkan sebagai pembubaran PSSI. Pembekuan
kepengurusan PSSI mestinya tidak terjadi, jika kita berfikir bahwa akar
masalahnya bukan semata mata masalah manajemen kompetisi dan transparansi PSSI,
tetapi lebih pada sumberdaya pemain. Postur tubuh pemain kita yang relatif
lebih kecil menyebabkan langkah kakinya relatif lebih pendek terutama saat
berlari, padahal speed sangat dibutuhkan dalam
bermain sepakbola. Kecerdasan pemain kita juga kurang, sehingga ia tidak mampu
membaca dan memprediksi kea rah mana bola akan digiring kawan atau lawan.
Sebenarnya
beberapa kekurangan ini dapat diatasi oleh daya juang yang tinggi. Kita bisa
lihat bagaimana kinerja para pemain Korea Selatan atau Jepang yang posturnya
relatif tidak jauh berbeda dengan para pemain kita. Dengan semangat juang yang
sangat tinggi, maka kelemahan postur bisa diimbangi. Semangat juang inilah yang
kurang pada para pemain kita. Semangat juang terkait dengan motivasi, dan
motivasi dipengaruhi oleh sistem insentif dan penghargaan, dalam banyak bentuk.
Masyarakat dan pemerintah kita belum terbiasa memberikan penghargaan, khususnya
dalam jangka panjang, terhadap para atlet kita yang berprestasi. Kita sudah
sama sama tahu bagaimana nasib para olahragawan kita yang memiliki prestasi
internasional gemilang pada saat jayanya, kemudian terpuruk serta terlupakan
pada hari tuanya.
Itulah
akar masalahnya. Bisakah para olahragawan kita memiliki motivasi tinggi karena
ada jaminan bagi mereka dalam jangka panjang, sehingga olahraga bisa mereka
jadikan sebagai profesi. Dengan cara itu, kita telah belajar menyelesaikan
masalah dari akarnya, bukan membuat huru hara dipermukaannya.
(Penulis
adalah Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Palangka Raya).