Penulis : Dr. H. Bulkani, M.Pd*
Saya berangkat haji pertama kali tahun 2006, sebagai Tim Pembimbing Haji Daerah
(disingkat TPHD). Sebagai petugas, tentu banyak suka duka yang saya alami.
Sukanya, tentu saja karena saya dapat berangkat haji secara gratis karena
seluruh biaya ditanggung oleh pemerintah daerah. Sedangkan dukanya, kita harus
siap berjibaku untuk melayani jamaah, bahkan harus siap dimarahi, karena
jamaah haji umumnya beranggapan bahwa petugas haji dibiayai dari ONH yang
mereka setorkan.
Dari
semua masalah yang dialami, maka yang paling sulit adalah mengkoordinir dan
mengatur jamaah. Sistem penyelenggaraan haji yang melibatkan ratusan ribu
jamaah, tentu saja membutuhkan sistem pengorganisasian yang kompleks tetapi terpadu
karena akan saling terkait satu sama lain. Terlambatnya kedatangan seorang
jamaah untuk berkumpul di suatu tempat yang telah ditentukan misalnya, akan
menyebabkan keterlambatan keberangkatan suatu rombongan, sehingga berimbas pada
keberangkatan rombongan lain yang kebetulan menggunakan bus yang sama.
Masalahnya adalah, jamaah Indonesia memang sulit untuk diatur.
Sangat
heterogennya jamaah jika ditinjau dari beberapa sisi, dan sistem serta materi
manasik haji yang terlalu berorientasi pada pelaksanaan ibadah, telah
menyebabkan kesulitan bagi petugas untuk mengkoordinir jamaah. Masalah
ketidakdisiplinan waktu, masalah antri, kebersihan, dan pembagian nasi kotak
catering yang tidak pernah cukup, merupakan masalah umum ysng dialami petugas
haji. Begitulah sulitnya mengatur orang Indonesia.
Contoh
lainnya dapat kita lihat saat naik pesawat terbang yang berebutan, seolah olah
tidak kebagian tempat duduk. Hal yang sama juga dapat kita lihat pada saat akan
turun pesawat. Pada saat pesawat masih taxing menuju terminal
kedatangan, sudah banyak penumpang yang berdiri dan membuka kabin, atau
menghidupkan HP, padahal jelas hal itu dilarang dalam standar penerbangan.
Anehnya,
masalah serupa juga terjadi pada mahasiswa. Jangan dikira bahwa mahasiswa
mahasiswa kita yang notabene merupakan kelompok berpendidikan tinggi dan
terpelajar itu, merupakan orang orang yang mudah untuk dikoordinir.
Saya
mengamatinya pada saat penjemputan mahasiswa yang melaksanakan kegiatan KKN dan
PPL di wilayah Thailand Selatan. Saat selesai upacara penutupan,
seharusnya mahasiswa langsung menuju bus yang telah ditentukan
sebelumnya. Kenyataannya, sebagian besar mahasiswa tetap sibuk mengwmbil foto
di sana sini, sehingga jadwal keberangkatan bus tertunda beberapa jam.
Koordinator acara tampaknya mulai putus asa menghimbau mahasiswa untuk segera
menaiki bus melalui pengeras suara. Padahal, ketepatan waktu
pemberangkatan bus sangat penting karena terkait dengan acara dan masalah
lainnya, misalnya terkait dengan jam buka tutup border perbatasan
Thailand dan Malaysia. Padahal, sebagian besar mahasiswa tersebut memilih
pulang ke tanah air melalui Kuala Lumpur via jalan darat sehingga harus
melintasi perbatasan Thailand-Malaysia.
Uniknya,
sekalipun sulit di atur dan diarahkan, orang Indonesia itu menjadi patuh jika
ditakut takuti dengan sanksi. Dalam suatu rombongan dosen pada suatu kunjungan
ke luarnegeri, saya pernah tergabung dengan beberapa dosen yang kurang
disiplin, terutama dari segi waktu, sehingga beberapa dosen tersebut selalu
ditunggu pada saat keberangkatan. Akhirnya, penyelenggara tur mengambil sikap
tegas, dan mengumumkan bahwa jika ada anggota rombongan yang tidak ontime, maka akan ditinggal. Ternyata
ancaman itu cukup ampuh untuk mengatasi masalah ketidakdisiplinan. Sang dosen
yang biasanya datang terlambat dan selalu ditunggu, ternyata datang jauh lebih
awal dibanding dosen yang lain, walaupun sambil mengomel karena merasa menunggu
terlalu lama. Rupanya, ada teman yang menginformasikan ke beliau bahwa waktu
berkumpulnya dimajukan satu jam dari kesepakatan semula, maka jadilah beliau
datang satu jam lebih awal dari kesepakatan.
Dari
fenomena tersebut ternyata, orang Indonesia itu bisa lebih disiplin dan
tertib jika dipaksa. Sulit mengharapkan kedisiplinan yang tumbuh sebagai suatu
kesadaran dan kebutuhan. Mungkin seperti itulah mental orang yang lama dijajah.
Mari kita buktikan bahwa penjajahan Belanda dan Jepang pada masa lalu,
tidak meninggalkan bekas pada mentalitas dan perilaku kita.
(Penulis
adalah Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Palangka Raya).