Penulis
: Dr. H. Bulkani, M.Pd*
Hari
ini, di awal Agustus 2014, saya diajak oleh paman saya untuk menengok kerabat
yang kabarnya sakit. Paman saya, seorang pria lima atau enam puluhan
tahun, jauh-jauh datang dari kota Buntok (ibukota Kabupaten Barito Selatan) ke
kota Palangka Raya (ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) dengan menempuh jarak
perjalanan sekitar 200 km, untuk menengok kerabat tersebut.
Awalnya
saya berfikir bahwa ada kerabat atau keluarga dekat kami yang sakit, sehingga
paman saya harus bersusah payah menempuh perjalanan 200 km untuk menjenguknya.
Akan tetapi, ternyata yang ditengok adalah “kerabat angkat”. Kebetulan pula
agama dan suku yang dianut kerabat tersebut berbeda dengan agama dan suku
paman saya itu. Hal ini menjadi menarik karena, dalam kultur masyarakat
atau lingkungan tempat paman saya tinggal, agak jarang orang yang memiliki
kerabat angkat dengan orang yang berbeda agama. Apalagi ikatan kekerabatan itu
sudah seperti ikatan persaudaraan.
Setelah
saya telusuri sejarahnya, ternyata almarhum kakek saya, yang dulunya merupakan
pendatang dan pedagang dari Kalimantan Selatan dan akhirnya tinggal di Kota
Buntok, telah menjalin ikatan persaudaraan angkat dengan banyak orang saat itu,
terutama penduduk asli di Buntok, tanpa memandang perbedaan suku dan agama.
Itulah sebabnya, jika nama almarhum kakek disebut, maka hamper semua
orang-orang tua di kota Buntok mengenal sekaligus mengingatnya.
Pada
saat ini, ikatan persaudaraan yang telah dijalin oleh almarhum kakek itu,
kemudian diteruskan oleh paman saya tadi dengan kerabat yang sedang sakit
tersebut.
Saat
saya mengantarkan dan mendampingi paman saya menjenguk kerabat yang sakit
tersebut, saya menjadi sadar bahwa silaturahim tidak mengenal batas : agama,
suku, usia, status sosial ekonomi, pangkat dan jabatan, serta hal lainnya.
Paman
saya adalah contoh sukses implementasi konsep silaturahim yang baik dan
luas, hablum minan naas yang komplit, sesuai dengan konsep Islam sebagai
agama rahmatan lil ‘alamiin.
Ternyata,
persaudaraan dan silaturahim bahkan telah menyingkirkan batas-batas nafsi,
sekat-sekat kelompok, dan Tuhan telah lama mencampakkan batas-batas itu.
Akan tetapi, manusialah yang mendirikan sekat-sekat pembatas silaturahim
sehingga terjadi pengkotakan dan segmentasi. Silaturahim harus dimaknai secara
universal.
(Penulis
adalah Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Palangka Raya).